CERPEN: MELUKIS BIDADARI

Nyata-nyata ia memang cantik! Biar pun kerap menimbulkan friksi demi menyoal definisi cantik itu sendiri, -karena setiap orang memiliki catatan berbeda – siapa pun bisa mendadak sepakat dengan siluet wajah itu. Parasnya sejernih malam tanpa mendung, tak lupa binar gumilang yang senantiasa mengapung di bumantara. Orang kerap menyederhanakan analogi itu dengan sebutan manis. Sorot matanya bak belati, siap menikam siapa saja yang berani beradu. Tapi tak banyak yang mampu mengalahkan tajamnya sorot itu. Tentu siapa pun akan sadar dengan sendirinya, merunduk dan tak lagi macam-macam dengan mata itu.
Nadia, kini wanita cantik itu tertunduk menatap jemarinya yang semakin menyusut. Mata belatinya mulai memudar, bukan lantaran usia yang terus berlari, melainkan sebuah kenyataan yang begitu sulit ia percaya.
“Saya memang tidak terlalu paham dengan agama, Rin. Apa salahnya jika saya memilih pria yang saya anggap mengerti tentang agama dan mampu membimbing saya..” wanita itu mulai membelah keheningan. Ditatapnya Arin, sahabatnya yang duduk tepat di sampingnya. Taman kota yang dipenuhi beragam bunga, mulai dipadati pengunjung yang ingin menikmati pagi di hari libur, tidak terkecuali dua wanita ini. Namun, topik yang dirasa begitu berat, membuat keduanya tidak menyadari bahwa pagi ini begitu indah. Gunung prasangka menutup kelima indra Nadia yang tak lagi peka dengan keadaan.
“Tapi bagaimana mungkin dia menikahi wanita yang sedang hamil!” Embun di mata Nadia pecah. Kecewa bercampur amarah mengisi buah pikirnya. Royyan, kini menjadi buah bibir Nadia. Tidak dipungkiri jika keduanya memiliki hubungan istimewa. Bukan wajah rupawan bak bintang Hollywood yang menjadi alasan Nadia. Royyan yang tak pelit dalam membagi ilmu dan tak menggurui dalam menyampaikan, telah membuat yakin bahwa pria ini akan membimbingnya menjadi lebih baik.
“Mungkin Royyan ingin menolong gadis itu atau dia memiliki alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut.” Ujar Arin. Tentu Nadia cukup mengerti apa yang baru saja dikatakan sahabatnya itu. Berbaik sangka, itulah yang pernah diajarkan Royyan padanya.
“Haruskah dengan menikahinya? Haruskah menutupi perbuatan dosa dengan dosa? Lalu ke mana pria yang seharusnya bertanggungjawab atas janin dalam kandungan itu? Kenapa harus Royyan?”  Sorot mata Nadia mendadak menyala, menebar aroma waspada. Hati yang tercederai, membuatnya tak mampu mengatur perasaan. Kini keduanya terdiam. Menyelami pikiran masing-masing.
Hamil di luar nikah, itulah yang marak terjadi. Bukan hanya menimpa wanita yang dianggap matang usianya, bahkan anak usia SMP sudah bukan hal asing. Untuk membersihkan lumpur yang telah dilempar anak ke muka sang ayah, kerap para orang tua memilih jalan menikahkan putrinya dengan laki-laki yang menghamilinya. Desas-desus yang disuarakan tetangga mungkin hanya sebentar, tak lama semuanya akan kembali normal. Batin Nadia ingin menjerit sejadi-jadinya. Mengapa manusia mendadak seperti binatang? Melakukan apa saja yang dianggap baik di matanya? Mengalahkan aturan-aturan terbaik yang sudah ditetapkanNya.
“Nadia..” Suara lembut itu memecah kecamuk yang dirasakan Nadia. Tanpa menolak, Nadia menatap lekat kedua mata Arin. Kini dua pasang mata itu beradu. “Apakah kau menyukai Royyan?” mendadak Nadia berasa tercekik. Sebenarnya, hanya melihat mata Nadia, Arin sudah tentu menemukan jawabannya. Namun tak ada kata yang terucap dari bibir Nadia.
“Nadia, kita memang sering menganggap bahwa pernikahan itu adalah semata peristiwa hati, padahal  pernikahan adalah peristiwa peradaban.” Nadia mulai memutar ingatannya. Sebuah kalimat yang sama persis dengan apa yang ia dengar dari seorang ustad di sebuah masjid usai sholat dhuhur. Namun Nadia tidak menganggap serius kalimat itu. Kini Arin kembali mengingatkan, suatu kebetulankah?
 “Luruskan kembali niat, karena ia juga butuh diperbarui. Percayalah, semua ini adalah hukum sebab-akibat. Mungkin, kau masih dalam fase sebab dan tidak akan tahu bagaimana akibatnya kelak. Yang jelas kita harus brusaha dan berdoa agar akibatnya mendapat ridhoNya.” Inilah kalimat yang dinanti Nadia, sebuah kalimat nasihat, bukan pembelaan untuk siapa pun.
Bagaimanapun juga, Nadia bukanlah bidadari. Dia bukanlah makhluk yang tak pernah mencium bau dosa. Sudah barang tentu hatinya akan lebam jika dihadapkan dengan kondisi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun, semuanya tidak akan demikian, jika dia tidak terburu-buru menitipkan hatinya pada Royyan.
“Kini aku mulai menyadari ada yang bermasalah di sini.” Nadia menunjuk dadanya. “Pernikahan bukanlah sekedar menyatukan dua manusia yang sedang dibuai. Sesederhana itu kah? Fatal jika orang menganggapnya demikian. Seharusnya ada visi besar di sana, visi yang senanatiasa dipupuk agar tumbuh sesuai dengan harapan. Membangun peradaban yang berkah dan diridhoiNya. Terima kasih Arin.”
Keduanya mulai bangkit, berjalan mengitari taman yang sengaja dibangun di tengah-tengah kota. Ditatapnya lukisan langit yang begitu cerah dengan gulungan awan seputih santan. Nadia seolah melihat bidadari yang berlarian menembus awan. Dalam batinnya berbisik, berjanji untuk menjadi salah satu bidadari yang menembus awan.

“Rin, aku ingin melukis bidadari,” ucap Nadia saat berhenti tepat di vegetasi bunga kertas. “bukan di kanvas atau di kertas, melainkan di sini!” kembali ia menunjuk dadanya, yang kemudian dibalas dengan senyum simpul Arin. Kembali keduanya berjalan menyusuri taman. Tanpa sadar, kelak mereka akan benar-benar menjadi bidadari, bukan di taman kota, melainkan di surga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik Cerpen Karya Sirikit Syah

NOSTALGI(L)A PUTIH ABU-ABU