CERPEN: Cinta Dalam Aksi




            Aksi damai turun ke jalan kali ini bukan pertama kali yang dilakukan oleh Arum. Hampir di saat ada kebijakan pemerintah yang tidak pro dengan rakyat, atau aksi mengecam serangan Israel terhadap Palestina, tentu ia ikut andil. Ya, Arum saat ini telah menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri di Kota yang cukup jauh dari rumahnya. Hal inilah yang mau tidak mau, ia kos di tempat yang tidak jauh dari kampusnya. Jika ada agenda yang tidak bisa ditinggalkan, Arum absen dari barisan aksi. Meski terkadang Papa dan Mamanya kerap melarangnya, Arum bisa meyakinkan keduanya jika tidak akan terjadi hal-hal buruk.
                  Kali ini aksi damai turun ke jalan untuk mengutuk serangan Israel terhadap Palestina. Arum sudah siap dengan atribut aksi. Ia bergabung dengan ratusan mahasiswa dari beberapa kampus lain yang ikut beraksi. Puluhan polisi bersiaga dengan mobil anti huru hara.
            Hampir satu jam ia dan mahasiswa lainnya bergantian berorasi. Meskipun terik matahari mulai memanggang, namun mereka tetap berada di barisan. Tiba-tiba mata Arum tertuju pada sosok pria yang sedang memegang microphon untuk melakukan orasi. Pria itu menggunakan ikat kepala khas mahasiswa yang melakukan aksi dan dilengkapi almamater kampus yang ia kenal. Dan pria itu kini berorasi  begitu vokal di hadapan mahasiswa yang ikut aksi. Begitu penasaran dengan pria itu, Arum berusaha mencari tahu siapa pria itu. Dia sengaja tidak langsung kembali ke kampus saat aksi sudah selesai. Ia sengaja untuk menyakinkan bahwa pria itu tidak asing baginya. Dan benar saja, pria itu melintas di hadapan Arum. Gedup jantung Arum bergemuruh tak karuan. Dia begitu mengenal pria itu. Dengan lidah yang terasa ngilu, Arum berusaha memangginya.
            “Karang!” panggil Arum. Namun sayang, suara Arum bak ditelan keramaian pasca aksi yang masih dipenuhi para mahasiswa. Pria yang dipanggil Arum tidak menoleh. Lantaran tidak mendapat respon, Arum segera berlalu. Tanpa sadar, pria itu membalikkan tubuhnya sambil tersenyum penuh makna.
...
Tiga tahun yang lalu...

Seperti siang-siang yang telah lalu, Arum langsung menuju rumah setelah pulang sekolah. Dia lebih suka menghabiskan jus jeruk di rumahnya daripada main ke mall seperti yang dilakukan teman-temannya. Namun langkahnya harus terhenti saat sosok pria memanggilnya dari kejauhan.
            “Arum tunggu! Aku ingin bicara sama kamu.” Kata pria itu, berusaha menghentikan jalan Arum.
“Kebetulan, aku juga ingin bicara denganmu” tandas Arum tanpa basa-basi.
“Aku mengaku salah. Mempermainkan perasaan wanita.” Wajah pria itu berubah seakan penuh penyesalan. Siapa yang tidak mengenal sosok jangkung ini. Di sekolah, dia selalu menjadi bahan pembicaraan para wanita. Wajah yang manis dan otak encer merupakan modal baginya untuk memikat hati para wanita. Namun dua kelebihannya tersebut tidak tidak diimbangi dengan sikapnya. Gonta-ganti pacar merupakan kebiasaan buruknya. Terakhir dia berpacaran dengan adik kelas IX, namun dua minggu kemudian dia berpacaran dengan teman sekelasnya. Bukannya fokus belajar untuk menghadapi UN yang semakin dekat, malah baru-baru ini ia membuat ulah lantaran berkelahi dengan pacar dari mantannya.  Gosip yang beredar, pria ini ingin menjalin hubungan kembali dengan adik kelasnya yang sudah ia putuskan. Begitu rumit,
“Serius? Memar di pipimu habis berkelahi dengan Reno masih jelas lho, apa mau nambah lagi?” jawab Arum sambil mengacungkan tangan yang tergenggam. Namun ia tidak bisa membohongi jika hatinya bergemuruh seakan melonjak bahagia. Selanjutnya mereka berbicara sambil berjalan menuju rumah Arum yang memang tidak begitu jauh dari sekolah.
“Suwerrrr... Rum! Aku gak ada niat balikan sama Luna atau Silvi. Anak-anak aja yang bikin gosip gak bener. Soalnya udah 2 minggu gak ada kabar yang heboh dari aku.“ jelas pria ini sambil memegang bekas bogem mentah dari Reno.
“Kalau beritanya benar , bukan gosip namanya, tapi fakta. Memangnya kamu setenar apa sih? Sampai-sampai anak-anak membuat kabar yang gak mutu seperti itu. Oh ya, bukannya kamu masih pacaran dengan Silvi? Kok gosip yang beredar tambah gak karuan.” Respon Arum dengan sebal.
“Yee, kalau kabar bener namanya fakta, kalau gak karuan kayak gini namanya gosip. Udah ah, males bahas itu. Aku sudah putus dengan semua cewek.” Wajah pria ini berubah menjadi merah padam.
“Iya, saya percaya kamu, playboy yang udah tobat.” Balas Arum, mencoba meredam emosi. “Lantas apa rencanamu?” tanya Arum.
“Aku mau fokus belajar menghadapi ujian. Dulu, waktu kecil jika ditanya besar nanti ingin jadi apa, aku menjawab dengan mantab mau jadi dokter. Dan aku hampir lupa dengan cita-citaku ini. Sibuk mempermainkan perasaan wanita. Sekarang aku ingin mengejar cita-cita masa kecilku dulu.” Jelasnya panjang lebar. Arum hanya tersenyum mendengar cita-cita masa kecil itu.
“Kenapa senyum-senyum sendiri, Rum?” tanya pria ini sambil menatap mata Arum. Dengan sekejap Arum menundukkan kepala. Ia tidak mampu menatap mata elang pria ini lama-lama.
“Waktu kecil aku juga punya cita-cita, tapi banyak sekali. Hari ini ingin jadi polwan, besok ingin jadi penari, lusa tertarik dengan perawat.” Kenang Arum sambil tersenyum manis.
“Lantas, sekarang pingin jadi apa?” Begitu penasaran, sampai-sampai pria ini berhenti di hadapan Arum.
“Guru.” Jawab Arum tak kalah mantabnya dengan pria ini saat menyebutkan cita-citanya.
“Kenapa?” kerut di dahinya tak mampu menyembunyikan penasaran.
            “Simpel saja, dengan menjadi guru, aku akan membagi cinta yang aku terima. Dan aku suka dengan anak-anak.” Sambil melanjutkan perjalanan, Arum menceritakan apa yang ia cita-citakan. Secara tiba-tiba, pria ini memegang bahu Arum. Arum tersentak dan tidak mampu menghindar.
            “Arum, berjanjilah untuk terus mengejar cita-citamu menjadi guru. Aku pun juga berjanji akan menjadi dokter.” Kini wajah pria ini berubah menjadi serius.
            Arum hanya tersenyum. “Iya, sama-sama kita berjanji untuk berusaha keras mengejar cita-cita mulia kita.” Dan tanpa sadar, langit dan bumi telah menjadi saksi janji merka berdua.
      “Dan kalau aku lulus UN dan diterima PTN, aku mau cari pacar lagi. Ha.. ha..ha...” kata pria ini, tertawa jumawa sambil berlari.
            “Dasar playboy, belum insyaf juga. Hey jangan lari kau! Bogem mentahku pengen mendarat di pipimu!” kata Arum sambil mengejar pria yang berlari terbirit-birit. Tanpa sadar, sebuah takdir telah terajut dalam sebuah kitab, yang kebanyakan orang menyebutnya lauhul mahfudz. Benar sekali, Pria ini bernama Karang Samudra.
...
            “Kedatanganku kemari untuk memenuhi panggilanmu satu tahun yang lalu. Maaf membuatmu menunggu selama ini. Kali ini, aku ingin menanyakan sesuatu padamu. Tentunya aku sudah mendapatkan izin dari Papa dan Mamamu.”Kata pria itu tanpa jedah. Arum hanya diam membisu. Baru saja ia dikagetkan dengan kedatangan pria yang ia jumpai saat aksi satu tahun yang lalu, dan kini secara tiba-tiba pria itu berbicara seolah membalas panggilan yang sempat diabaikan. Tanpa menunggu jawaban Arum, pria itu melontarkan pertanyaan.
            “Saya Karang, maukah kau menjadi guru sekaligus ibu bagi anak-anakku kelak? dan maukah kau menjadikanku dokter sekaligus ayah bagi anak-anakmu kelak?” Arum begitu terkejut dengan pertanyaan yang dilemparkan pria itu. Ia menoleh pada Papa dan Mama yang ada di sampingnya seakan meminta bantuan jawaban. Pria itu duduk sendiri penuh nyali dan penuh harap. Arum benar-benar tidak mampu menjawab. Baru minggu kemarin ia yudisium, dan tinggal menunggu wisuda. Kini sudah ada pria yang meminangnya.
             Astaga, besar sekali nyali pria ini. Seperti kulihat saat aksi setahun yang lalu, di hadapan barisan polisi yang berbaris, tanpa gentar berorasi. Menyampaikan kebenaran kurasa memang tidak perlu takut. Tapi, apa-apaan ini? Hey, bukankah dulu aku sempatkan memanggilnya saat bubar aksi. Apa yang dia lakukan waktu itu? ngeloyor tidak menghiraukan panggilanku. Kini, tiba-tiba datang memintaku untuk menjadi ibu bagi anak-anaknya. Ah,mugkin biar dianggap sudah siap! Dan sekarang aku menjadi bingung. Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Begitulah Arum bermonolog.
            Seperti mengetahui gelagat kebimbangan pada raut Arum, Karang berusaha memberikan waktu berpikir pada Arum. “Saya tidak bisa menunggu terlalu lama, ada waktu satu minggu untuk kita meminta petunjukNya, menghilangkan kebimbangan atau kebingungan yang dialami Arum.”
...
            Tak lama memang, pertanyaan Karang dijawab Arum dengan berdirinya pelaminan yang cukup besar satu minggu kemudian. Ya, di sana terlihat Karang dan Arum dengan riasan pengantin. Wajahnya terlihat begitu cantik jelita dibalut baju pengantin berwarna putih tulang. Karang menatap mata Arum dalam. Untuk masalah ini, Arum mengaku kalah. Dari dulu dia tak sanggup dan menyerah jika mata elang Karang menusuk mata Arum.
            “Hey, bukankah kau yang orasi di depan DPR?” Pertanyaan ini akhirnya keluar dari mulut Arum. Yang ditanya hanya mengangguk pelan, dengan masih memandang tamu yang hadir. “Kenapa tidak menjawab panggilanku? Hem, sombong sekali kau!” tanya Arum sebal.
            Hemm.. pria ini tersenyum nakal.
            “Sebenarnya, sulit bagiku menahan panggilanmu. Melihatmu saat aksi itu, membuat hati ini berdesir. Buru-buru aku menghindar darimu, sebelum hati ini lebam olehmu. IIngin sekali aku membalasnya dengan berteriak “Iya, ada apa Arum?”. Tapi aku tidak mampu. Dan aku tidak ingin memanggilmu seperti itu. Aku hanya ingin memanggilmu dengan panggilan “Iya, ada apa Cinta?” dan sekarang aku bisa melakukannya. Hahhaha......”  Para  tamu terkaget saat melihat Karang tertawa jumawa. Tidak menyangka pria jangkung ini bisa tertawa lebardi saat ia berada di pelaminan.
            Pipi Arum berubah merah, seperti udang rebus yang baru dimasukkan air mendidih. Arum membalas mata elang itu dengan cubitan manja di pinggang Karang. Karang hanya meringis antara kegelian dan kesakitan. Sejurus kemudian bibir Karang mendekati telinga Arum. “Terima kasih cinta, sudah mempercayai Rangga menjadi dokter sekaligus ayah anak-anak kita kelak.” Bisik Karang di telinga Arum. Arum hanya bisa tersenyum. Dan Arum tidak tahu jika senyumnya mampu merapuhkan kekuatan sang mata elang.
 
Pasuruan, 4 Oktober 2013
00:05 WIB
     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik Cerpen Karya Sirikit Syah

CERPEN: MELUKIS BIDADARI

NOSTALGI(L)A PUTIH ABU-ABU