Cerpen: Kumis Priaku
KUMIS
PRIAKU
Mentari semakin
merangkak naik. Burung-burung Gereja beradu terbang menuju peraduan. Kalong-kalong
mulai merajai senja, terbang rendah di antara pohon flamboyan di tepi trotoar. Lampu-lampu
jalan mulai menyala, menggati mentari yang perlahan lenyap. Pejalan kaki semakin
mempercepat langkahnya, seakan ingin segera sampai rumah untuk melepas lelah
dan bertemu keluarga.
Senja kali
ini, kulalui dengan kecemasan dan kekecewaan. Berkali-kali kulihat jam di
tangan, sudah satu jam aku berada di halte bus. Menunggu kedatangan ayah, sosok
yang sudah sembilan tahun meninggalkan aku dan ibu. Di Jeddah, ayah bersama
Pakde Sulaiman mengais rezeki di negeri para nabi.
“Jangan
menangis, anak ayah jadi jelek kalau menangis.” Kata ayah sambil jongkok lalu menyeka
air mataku yang menganak sungai. Agak berlebihan memang, tapi usiaku waktu itu masih
sepuluh tahun, tak masalah jika aku menangis sesenggukan. Selama sepuluh tahun itu
ayah dan ibu memperlakukanku dengan istimewa. Maklum tujuh tahun menungguku lahir
bukan waktu yang singkat.
“Doakan ayah
agar dimudahkan rezekinya, biar ayah segera pulang dan membawa banyak cokelat
buat Rosa.” Ayah masih merajukku. Ia tahu aku begitu menyukai cokelat. Di akhir
pekan ayah selalu memberiku cokelat sebagai hadiah aku tidak bolong mengaji. Jika
sudah mendapatkan cokelat, aku langsung berlari sekencangnya. Biasanya ayah
akan menghujaniku dengan ciumannya. Tidak masalah ayah menciumku, tapi aku
geli dengan kumisnya. Aku lebih memilih berlari mengamankan diri. Tapi ayah
sering menangkapku ketika aku tersudut. Jika seperti ini,
ibu hanya bisa tersenyum melihat dua malaikatnya.
Senja
semakin gelap. Sebuah bus terlihat mendekat. Aku bangkit dari tempat dudukku. Degup
jantungku semakin berdetak cepat. Adakah dalam bus itu orang yang aku tunggu? Semakin
dekat, bus itu semakin cepat. Mungkin tidak ada yang mau turun. Dan memang Tuhan
sesuai dengan prasangka hambanya. Aku kecewa, bus itu hanya melewatiku. Tak ada
yang mau turun dari bus itu. Aku kembali duduk di halte. Tidak terasa, di
sekelilingku hanya ada angin senja. Tak ada yang lain.
“Janji ya,
Yah?” tanyaku, berusaha meyakainkan bahwa semua akan baik-baik saja. Mendengar
cokelat membuat tangisku berhenti. Pikiranku tak akan mendapat cokelat lagi dan
ciuman menggelikan di akhir pekan.
“Ayah
janji. Tapi Rosa juga harus janji, tidak boleh menangis dan tidak boleh membuat
ibu menangis.” Kata ayah. Aku hanya mengangguk. Kulirik ibu yang sedari tadi
duduk di halte bus. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya. Ibu hanya
tersenyum, tapi aku tahu itu senyum yang dipaksakan. Tak lama, sebuah bus
datang dan membawa orang yang aku cintai pergi.
Waktu
terus berjalan, hingga membawaku ke sebuah perguruan tinggi. Dan di situlah aku
bertemu pria dengan kumis mirip ayah. Pria itu bertubuh tinggi, rambutnya ikal
nan gondrong, jins sobek, dan kaus oblong dan jaket jins. Darinya, tidak ada yang
spesial selain kumis mirip dengan ayah. Sejak itu aku dibuat gila olehnya.
“Rosa,
bukankah kau telah berjanji tidak akan membuat ibu menangis?” kata ibu saat
pria berkumis itu mengantarku pulang. Memang ibu tak banyak bicara, namun aku
sudah tahu ke mana arah bicaranya. Pria berkumis itu bisa membaca raut wajah
ibu. Suatu hari dia datang menjemputku. Tanpa kumis, tanpa rambut gondrong, celana
kain, dan kemeja merah marun. Sayang, raut wajah ibu tak berubah.
Dua kali
aku kehilangan pria berkumis.
Ah, sudah
delapan tahun ayah pergi. Tentunya aku begitu merindukannya. Namun rasa
penasaran mengusikku. Siapa pria berkumis itu?
Deg!
Tiba-tiba
aku tersadar dari lamunanku. Bagaimana jika Ayah tidak datang? Bagaimana jika
ayah tidak pulang? Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan ayah? Bagaimana jika
ayah menikah lagi dan punya anak? Bagaimana jika ayah lupa denganku? Mataku
mulai kabur dan mengembun. Rasanya panas. Segera aku beristighfar. Tuhan sesuai
dengan prasangka hambanya.
Dari jauh
lampu bus menyoroti jalan yang mulai basah dengan hujan. Aku segera bangkit.
Ayah pasti di bus itu. “Tuhan sesuai dengan prasangka hambanya” bisikku
menghibur diri. Kini aku menelan dalam-dalam tangisku. Bus itu melaju dengan
kencang tak berhenti. Mataku yang mengembun mulai terasa berat oleh genangan
air. Kugigit bibirku, kutahan air mataku. Aku tidak boleh menangis. Tapi hari
sudah malam. Segera aku berbalik untuk mencari masjid. Tiba-tiba kudengar
terikan memanggil namaku.
“Rosa!”
Cepat-cepat
aku membalikkan badan. Kulihat seorang bapak berusia kira-kira lima puluhan
tahun dengan membawa tas.
“Rosa,
ini ayah!” teriaknya lagi.
Tanpa
peduli hujan yang semakin deras, aku berlari menerobosnya. Degub jantungku
bergemuruh tak karuan. Air mataku yang kutahan kini tumpah. Mengalir bersamaan
dengan derasnya hujan yang mengguyur wajahku. Kupeluk tubuh itu erat-erat. Ayah
membalas pelukanku sambil tertawa lebar.
“Hahaha...
Kamu pasti sangat kangen ayah, ya?” Selidik ayah. Sejurus kemudian ayah mencium
kedua pipiku. Ada yang berbeda.
“Sengaja
ayah cukur kumis, biar kamu tidak kabur kalau ayah cium. Hahaha.... Ayah sudah
tua. Tidak bisa mengejarmu lagi.” Aku tidak sadar jika ayah mencukur kumisnya.
Kulihat kumis itu sudah raib, tergantikan oleh dagu yang dipenuhi jenggot.
“Nyaris
aku berpikir ayah tidak menepati janji.” Kataku sambil berjalan menuju halte.
“Maaf,
busnya datangnya terlambat.”
“Aku
sudah menepati janji, yah. Tidak menangis dan tidak akan membuat ibu menangis.
Sekarang aku tagih janji dari ayah.”
“Mana
pernah ayah mengingkari janji, yang ada hanya lupa. Hahaha...” kembali ayah
tertawa. Kucubit pinggang ayah.
“Ayah
bawakan cokelat yang banyak buat kamu.”
“Mana?”
tanyaku tak sabar.
“Itu.”
Tunjuk ayah sambil menoleh ke belakang.
Kulihat
sosok pria membawa kardus dan tas ransel di punggungnya. Wajahnya seperti
menahan berat, tapi ia berusaha menutupinya dengan senyuman. Namun usahanya
gagal. Aku tahu dia kelihatan lelah. Otakku mulai bekerja. Siapa dia?
“Sepupu Pakde
Sulaiman, tadinya jemput Pakde Sulaiman di bandara. Tapi karena cokelatmu
terlalu berat, jadi Pakde Sulaiman menyuruhnya ikut Ayah pulang.” Jelas ayah.
Sudah
berapa lama dia berdiri di situ? Oh tidak, jadi dia melihat tingkahku yang
aneh.
“Ayah kok
tidak bilang dari tadi? Rosa jadi malu.”
“Hahaha...
sudahlah.”
Jantungku
masih bergemuruh. Senang. Ayah telah kembali dengan membawa sekardus cokelat. Tak
masalah ayah tidak memiliki kumis, aku tetap mencintai ayah. Yang jelas aku tidak perlu mencari lagi siapa
yang tak berkumis.
Komentar
Posting Komentar