Secuil Refleksiku, Milad FLP ke 17
Bagi saya, menghadiri milad FLP ke 17 di FH Unversitas Airlangga (22/02) semakin menambah wawasan tentang kepenulisan. Namun jika hanya sekedar tahu, sama dengan bohong. Tentu harus diimbangi dengan tingkatan pemahaman dan action nyata. Satu lagi yang membuat saya mulai tersadar tentang adanya korelasi antara kualiatas tulisan seseorang dengan tingkat kedekatannya dengan Sang Pencipta. Saya baru tahu jika Pak Dukut Imam Widodo menulis usai bermunajat di sepertiga malam terakhir. Saya juga baru tahu jika ada penulis yang mulai berkarya setelah menunaikan sholat dhuha.
Bisa dikatakan karya mereka adalah "ilham" dari Allah. Jangan ditanya bagaimana kualitasnya? Karya yang dihasilkan tentu bukan karya ecek-ecekan. Begitu dekat mereka dengan Alloh, bahkan aktivitas sebelum mereka menulis adalah aktivitas yang positif. Tentu penulis seperti itu paham betul dengan “tanggung jawab” karyanya terhadap pembaca. Mana mungkin menyesatkan atau ngawur, lha wong sebelum nulis sholat dulu, ngaji dulu, atau dzikir dulu. Berbeda dengan penulis yang lain. Saya pernah dengar langsung dari sastrawan terseohor yang hadir dalam acara Malam Pujangga di kampus dulu, secara terang-terangan beliau mengungkapkan kebiasaannya sebelum berkarya adalah mabuk dulu. Astaghfirulloh.. (Insyalloh sekarang tidak lagi, semoga). Ada juga yang baru lancar nulis saat hatinya sedang galau, gundah gulana, sedih, atau marah. Saya tidak mengatakan kebiasaan tersebut selalu menghasilkan karya yang tidak bermutu. Ingat! air teko yang dikeluarkan sesuai dengan isinya (apa betul redaksinya seperti ini? Ah, sudahlah..). Apa yang kita lakukan, biasanya tercermin dengan karya kita, Insyalloh.
Akhirnya, semua ini adalah lecutan dan nasihat bagi saya, menulis tidak harus dipusingkan dengan cerita yang menarik, tokoh yang berkarakter, diksi yang membuai, atau setting yang tak terkalahkan. Jika kita dekat denganNya, maka semuanya akan mengikuti. Tentu diimbangi dengan kesungguhan belajar yang luar biasa. Kesan pertama masuk FLP Pasuruan, saya yakin orang di dalamnya pasti baik-baik. Tentu rajin sholat, ngaji, dzikir, selalu menjaga lisan, mengingatkan kebaikan, dan melakukan amalan yang memberatkan timbangan kebaikan kelak. Semoga perjuangan kita untuk menjadi penulis sastra santun bisa terwujud. Yuk kita berkarya melalui “Berkarya, Berbakti, Berarti”.
Komentar
Posting Komentar