Kumpulan Puisi : Pada Terminal
Dan betapa tidak produktifnya saya, setahun hanya menghasilkan delapan butir puisi. Alhasil kesaktian saya mulai hilang. Haha.. wes koyok pendekar ae. Tapi memang benar,jarang nulis membuat gaya tulisan jadi kaku-kaku linu gitu. Jadi harap maklum jika gak enak dibaca atau sekilas tampak "nyampah" di blog. Baiklah.... ini beberapa puisi yang sempat nyempil di leptop mulai tahun 2017 sampai awal 2018. Cekidoot...
Pada Terminal
Resah
ini, serupa aku pada terminal
Antara
pulang atau pergi
Lantas
bus yang kutunggu tak juga tiba
Berkonspirasi
antara peluh dan resah
Haruskah
aku yang mengalah?
Riuh
ini bukanlah yang kucari
Meski
sepi yang rimbun begitu menyesak
Lantas
kau tak juga menahanku
Berkolusi
pula hasrat dan logika
Lantas
apa yang harus aku lakukan?
Aku
takut bus itu tiba
Aku
takut bus itu tak tiba
Aku
takut kau mencegah
Aku
takut kau tak mencegah
Lantas
pada terminal ini, aku banyak berinsaf
Tiba-Tiba Lalu
Tiba-tiba
fajar
Lalu
merekah
Tiba-tiba
menyengat
Lalu
basah
Tiba-tiba
pelangi
Lalu
tawar
Tiba-tiba
angin
Lalu
terhempas
Tiba-tiba
senja
Lalu
gulita
Tiba-tiba
kamu
Lalu
pergi
Kau, itu kah kau?
Tiada
yang paling menjulang
Dari
sebuah mimpi yang rindang
Lalu
ditebarnya bukit-bukit pada altar
Hingga
semai harapan melangit
Namun,
ada yang hilang
Ada
yang kilah
Lantas
derai hujan menusuk-nusuk
Mimpi
pun serupa gilas
Harapan
menjelma retas
Kau,
itu kah kau?
BMKG
Telah
kuputuskan
Tak
lagi beranjak dari rumah
Bukankah
kau juga menyaksikan?
Penyiar
dengan gincu merah bata itu
Setengah
berderai mengatakan
“Hari
ini hujan turun!”
Telah
kuputuskan
Lebih
baik aku di rumah
Meringkuk
di balik selimut tebal
Memasang
telinga awas
Sesekali
mengintip jendela
Telah
kuputuskan
Tak
akan ke mana-mana
Menunggu
hujan berlaku benar
Hingga
kugamit waktu sampai senja turun
Barangkali
BMKG alpa
Tak
ada hujan di sini
Tapi,
sedari tadi riuh air menghujam
Cukup
di ruang lompong ini
Sepuluh Wajah Luka
Pagi
ini kita tersenyum
Berbagi
cecap secangkir kopi
Tawar
yang begitu manis
Lalu
tak ada yang beranjak dari kita
Masih
dengan kopi yang sama
Sesekali
dengan senyum yang dipaksa
Sepuluh
wajah luka
Kita
masih menikmati pagi yang sama
Menari Bersama Ombak
Tak
ada yang lebih gilas
Dari
gulungan ombak di lautan
Ditebasnya
karang hingga tergerus
Disapunya
bulir pasir sampai terjungkal
Dilumatnya
sekoci-sekoci yang lugu
Hanya
angin
Hanya
angin tak gentar
Membersamai
dalam pelukan erat
Mencandai
dalam derai
Lantas
keduanya menari
Kau Merenggutnya
Riuh
ini terlalu sunyi
Bersanding
tagar angin beku
Lalu
bertahta anggun hingga langit runtuh
Dan
tawa ini sungguh berderai
Walau
tak sejumput seringai membelah
Lantas
pilu mengabadi agung
Masih
bisa kurasakan
Lembayung
kemerahan diseling arakan mega
Lambat-lambat
ia diterpa angin
Lalu
menyisir rambutkmu hingga ujung
Lantas
kita seakan menyatu dengan langit
Bergurau
dengan awan
Pada
akhirnya, tak ada yang berubah
Hingga
kau terhuyung mengoyak sepi
Menghalau
tangis
Kau
merenggut nya, dan aku suka
4 Januari 2018
Dan, perlahan ada yang menelusuk
hati
Entah dia tahu atau tidak
Yang jelas aku telah menyulam
Mimpi-mimpi yang rindang
Cita-cita yang rimbun
Dan itu bersamamu...
Namun
semesta tak lagi bersenandung
Membiarkan
cita-citaku, mimpi-mimpiku
Melesat
dan terdampar
Atau
Melebur
bersama angin
Menjadi
hilang sama sekali
Komentar
Posting Komentar