Siap Bersinergi dalam Mendidik Anak
“Untuk menjadi banker yang profesional,
itu ada sekolahnya. Untuk menjadi dokter profesional juga ada sekolahnya. Tapi
selama ini kita belum pernah melihat untuk menjadi ibu profesional, sekolahnya
dimana?” Begitulah kiranya yang disampaikan oleh ketua pelaksana acara seminar
parenting yang bertajuk Sinergi Orang Tua dalam Mendidik Anak dan Launching
Ibu Profesional Pasuruan Raya (18/03) di Bangil Pasuruan. Dan beliau
menyampaikan bahwa ibu profesional adalah ibu yang bahagia menjalani perannya. Mari
kita bahas lebih detail terkait hasil seminar tersebut.
Visi dan Misi Ibu Profesional
Visi dari Ibu Profesioanal itu sendiri
adalah menjadi komunitas yang unggul dan profesional di negeri sehingga akan
membangun peradaban yang mampu berkontribusi, di awali dari dalam internal
keluarga. Sedangkan misinya adalah meningkatkan kualitas diri kita sebagai
seorang ibu dalam mendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak kita. Yang
kedua, meningkatkan kualitas diri kita untuk mengelolah diri dan keluarga kita.
Yang ketiga meningkat percaya setiap ibu dengan menemukan misi spesifik hidup
di muka bumi sehingga dapat beraktifitas dan berkarya dengan bahagia, anak dan
keluarga tetap menjadi prioritas yang utama. Yang keempat menjadi agen
perubahan sehingga bisa berkontribusi di negeri untuk membangun peradaban dari
dalam keluarga. Sebuah komunitas yang menarik, terlebih menjadi tempat belajar
bagi ibu dan calon ibu untuk menjadi ibu yang bahagia menjalani perannya.
Mengenal Keluarga Pak Dodik
Mariyanto dan Ibu Septi
Hadir sebagai pemateri pasangan suami
istri Pak Dodik Mariyanto dan Ibu Septi Peni Wulandari sekaligus penggagas
komunitas Ibu Profesional. Sebuah komunitas bagi ibu, perempuan, atau istri,
untuk menyiapkan dan meningkatkan diri menjadi ibu yang profesional. Tidak
tanggung-tanggung, keluarga pasangan tersebut juga memboyong ketiga anaknya
yakni Enes (21 thn), Ara (20 thn), dan Elan (14 thn). Acara tersebut dihadiri
baik pasangan suami istri maupun yang sedang belajar menjadi ibu yang
profesional.
Perlu diketahui bahwa Enes, merupakan
founder busana “Eneska” pernah meraih Young Changemaker 2009 dari Ashoka
Fondation dengan project SEMI pada usia 13 tahun. Sedangkan Ara peraih Young
Changemaker 2008 dari Ashoka Fondation dengan project “Moo’s Project” pada usia
11 tahun dan saat ini dia menjalankan
peran sebagai founder URTravelearner dan marketing manager SPEDAGI. Berikutnya
Elan penggagas SOBIKE (School on Bamboo Bike) dan pembicara termuda di
Internasional Converence Design Sustainability di Jepang pada usia 12 tahun. Ketiga
anak yang berprestasi tersebut merupakan buah dari kesinergian keluarga.
Apa itu Golden Role?
Di awal acara, Ibu Septi membuka forum seminar
dengan sharing santai perihal apa
yang dijalankan dari keluarga beliau. Beliau menyampaikan bahwa setiap usai
mengikuti seminar parenting, pasangan tersebut berdiskusi lalu mencatat apa-apa
yang akan dilakukan setelah mengikuti seminar tersebut. Sehingga tidak berhenti
hanya sekedar informasi belaka atau tidak dipraktikkan. Semacam ada out put atau timbal baliknya dari hasil
seminar tersebut. Bu Septi juga memaparkan cara menjadi keluarga yang hebat
dengan meningkatkan sinergi positif antar anggota keluarga. Terutama sinergi
orang tua dalam mendidik anak-anaknya.
Yang menarik dari keluarga yang mendirikan
sekolah formal ramah anak School of Life Lebah Putih ini, memiliki golden role tersendiri. Golden role
sangat membantu di saat terjadi gesekan-gesekan dalam keluarga. Gesekan
tersebut biasanya terjadi saat tanggal tua dan bulanan mulai menipis. Bu Septi kerap
“nggrundel” atau teriak-teriak saat
jatah bulanan kurang. Itu terjadi saat beliau belum meningkatkan kualitas diri.
Beliau menganggap dirinya hanya sebagai kasir keluarga saja. Maka yang ada di
level teriak, marah, teriak, marah. Hingga beliau menemukan “ilmu titen” bahwa
jika mulai tanggal tua emosi mulai tinggi, maka perlu adanya golden role.
Golden
role
yang pertama adalah sebesar apapun saat emosi harus tetap berkomunikasi. Tidak boleh
diam-diaman. Beliau memiliki prinsip mau tidak mau sebelum tidur masalah tersebut
harus selesai. Dan beliau menyelesaikannya di kamar, yang tujuannya agar tidak
terdengar oleh anak-anak. Yang kedua, apabila ada keputusan yang diambil saat
marah atau emosi maka keputusan tersebut dianggal batal. Yang ketiga, jika
berselisih paham beliau kembalikan semuanya pada konstitusi hidup, yakni Al
Quran dan Hadist. Maka dirujuk lagi apakah perihal berselisih paham atau
keputusan yang diambil bertentangan atau tidak dengan Al Quran dan Hadist.
For Thing to Change, We
Must Change First
Di awal Bu Septi menginginkan adanya
kesinergisan dalam keluarganya terjalin, agar cita-cita dalam keluarga bisa
terwujud. Salah besar jika kita menuntut orang lain untuk berubah. Yang jelas,
perubahan itu dimulai dari diri kita sendiri. itu kunci utamanya. Perlahan orang
lain akan melihat hasil dari perubahan pada diri kita. Di sinilah akan muncul
peluang perubahan pada diri orang lain. Ya, orang lain akan mengikuti sesuatu yang
cenderung mengarah pada kebaikan. Memang agak susah, namun seperti disampaikan
di awal bahwa kunci utamanya adalah dimulai dari diri kita, bertekat untuk berubah.
Aku, Kamu, menjadi Kita
Masalah perselisihan atau pertengkaran
memang kerap terjadi di awal-awal pernikahan. Individualisme masih tinggi, sehingga
ada istilah ini uangku, ini uangmu. Namun setelah memahami hakikat pernikahan, individualisme
tersebut berganti dari yang tadinya saya adalah menjadi kita. Ketika ada kata
kita, maka ada kata uang kita, dompet kita. HP pun HP kita, tidak ada HP ku dan
HP mu sehingga ketika HP Bu Septi dibaca Pak Dodik sudah tidak apa-apa. Begitu
juga sebaliknya, karena sudah tidak ada rahasia di antara mereka berdua.
Ketika Ada Queen of The
Queen
Berkaitan dengan keikutsertaan orang tua
(kakek/nenek) dalam mendidik anak-anak, yang terkadang metode atau caranya yang
tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Hal tersebut tentu akan menimbulkan
masalah tersendiri. Seperti yang kita ketahui, jika kita terpaksa masih tinggal
dengan orang tua atau mertua, tentu kebijakan atau keputusan yang diambil harus
seizin tuan rumah. Kadang keputusan “Queen of The Queen” mau tidak mau harus
diikuti. Karakter yang ingin kita
tanamkan kepada anak biasanya bertolak belakang dengan pemahaman orang tua.
Tentu hal tersebut akan mengakibatkan benturan-benturan yang suatu saat akan
semakin parah. Terlebih akan membingungkan sang anak dengan pola pengasuhan
yang bertolak belakang.
Jika mengalami hal serupa, cobalah
bicara baik-baik dengan orang tua atau mertua tersebut. Sampaikan bahwa anak itu dibesarkan
sesuai dengan zamannya, bukan dibuat mundur ke belakang seperti cara orang tua atau mertua mendidik kita dulu. Dan
bersinergi dengan orang tua dalam mendidik anak juga penting. Akan lebih elok
lagi jika orang tua kita ikut bersinergi dalam mendidik anak.
Jika Anak Sulit
Bersosialisasi
Adapun jika anak mengalami kesulitan
dalam bersosialisasi, Pak Dodik tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut.
Memang ada beberapa karakteristik anak yang suka bercengkrama dengan banyak orang, namun
ada pula yang lebih suka ngobrol dengan binatang. Itu tidak masalah. Tapi ada hal-hal
yang tidak boleh dilanggar. Misalnya urusan iman dan akhlak (jujur dan amanah).
Baik suka bersosialisasi dengan orang lain atau tidak, itu tidak masalah yang
penting tidak melanggar patokan. Jadi kita perlu menentukan patokan apa yang
boleh dan tidak boleh. Jika anak-anak tidak suka bersosialisasi tidak perlu
dipaksakan. Tetapi ketika anak-anak kejam terhadap teman-temannya, ini tidak
boleh. Kejam di sini misalnya merebut mainan. Hal itu bisa dilatihkan dengan
makna bahwa berbagi dan menghargai teman itu mulia. Terlebih, akhlak itu
dicontohkan. Orang tua mencontohkan bagaimana berperilaku yang baik kepada anak.
Maka anak akan melihat dan menyerap. Misalnya ghibah, jika anak-anak dirasa
tidak boleh berghibah maka orang tua tidak boleh mencontohkan, biarpun itu
urusan yang ada di televisi.
Agar Anak Tidak Kecewa
dengan Orang Tua
Lain halnya saat anak merasa kecewa
terhadap orang tuanya. Anak-anak kecewa di saat orang tua gagal meluangkan sedikit waktu untuk mereka.
Pun ketika waktu itu telah ada namun orang tua hanya menggurui. Padahal
anak-anak itu hanya ingin didengar. Dan saya bisa membayangkan dan merasakan
apa yang dirasakan anak-anak. Betapa tidak, susahnya mendapatkan waktu luang
bersama orang tua, sekali bisa menghabiskan waktu bersama, mereka hanya
mendapatkan kalimat-kalimat menggurui. Jadi, dengarkanlah saja saat anak
bercerita. Di sini, komunikasi merupakan jalan untuk melewati masalah. Komunikasi
itulah yang bisa membuat orang tua dan anak mampu melewati masa-masa pernah
“mengecewakan dan dikecewakan”.
Anakku Kecanduan Gadget
Nah, sekarang masuk pada pembahasan anak
yang kecanduan gadget. Mungkin kasus yang dialami Elen bisa menjadi referensi.
Semua bermula saat Elen ingin meminta pendapat suatu hal kepada ayahnya.
Setelah ia menceritakan panjang dan lebar, namun respon sang ayah membuatnya
kecewa. Sang ayah hanya menjawab “Heh, apa tadi dek?” Hal itu membuatnya enggan
berbagi dengan sang ayah. Padahal Elen hanya ingin sang ayah mendengarkan saja.
Rasa kecewa Elen dia lampiaskan pada Secondlife (kehidupan kedua), yaitu
jejaring sosial virtual (3D). Elen menghabiskan banyak waktu dengan
Secondlifenya. Pak Dodik mengalihkan kecanduan Elen dengan menyibukkan kegiatan
di luar dan berinteraksi dengan banyak teman. Kegiatan di luar berupa memanah,
berkuda, dan berenang. Olahraga yang disunnahkan. Bersyukur, kecanduan Elen
terhadap Secondlife sudah berangsur menghilang.
Berikutnya, siapa yang tidak ingin
menjadi orang tua yang dikagumi oleh anaknya? Saya rasa semua orang tua
menginginkannya. Cukup sederhana sekali membuat anak terkagum-kagum dengan
orang tua. Pertama, saat orang tua mengajak bermain bersama. Aktivitas ini
begitu murah. Cukup berselonjor atau sambil tidur-tiduran, bermain-main dengan
anak itu sudah cukup. Kedua, saat orang tua bisa berinteraksi dengan anak. Adakalanya
orang tua secara fisik ada di hadapan anak, namun hati dan pemikiran jauh
kemana-mana atau sibuk dengan gadgetnya. Yang ketiga, buatlah orang tua menjadi
cinta pertama anak-anak sebelum sang anak mengenal ketertarikan dengan lawan
jenis. Ya, ini penting dilakukan agar anak tidak mudah menaruh hati pada lawan
jenis.
Beri Kesempatan untuk Eksploring
Selanjutnya, sebagai orang tua
selayaknya memberikan kesempatan anak-anaknya untuk eksploring. Beri kesempatan anak untuk mengeksplor apa yang menjadi
keinginan mereka. Karena setiap anak memiliki passion yang tidak sama. Sebagai orang tua, kita harus belajar
menjadi fasilitator, bukan director. Karena orang tua hanya untuk memfasilitasi
bukan mengarahkan. Beri kesempatan anak-anak untuk eksplorasi hingga jangka
usia 17 tahun. Ajarkan anak untuk ulet dan tidak mudah putus asa, yaitu terkait
anak-anak yang belum bisa fokus dan masih bingung dengan passionnya. Beri kesempatan anak untuk memilih. Hal ini bisa
diterapkan sejak dini, yaitu saat bayi diminta untuk memilih makanan apa. Pun dengan sekolah, sang anak diminta memilih
sekolah ke mana.
Pentingnya Menjaga
Wibawa Sang Kakak
Terkait pola asuh, sering kita melihat
orang tua memarahi anaknya dihadapan saudara, orang lain, atau teman-temannya
saat melakukan kesalahan. Atau memarahi kakak di hadapan adiknya. Tentu hal
tersebut kurang tepat. Memarahi atau menasihati anak harus dalam kondisi berdua
dan di kamar. Hal ini bertujuan untuk menjaga kewibawaan anak dihadapan orang
lain, terlebih dihadapan adik, merupakan hal yang penting. Hal ini juga
membantu sang adik agar tidak bingung harus di posisi membela kakak atau
melawan ibu.
Bu Septi juga mengingatkan bahwa, jika
anak melakukan kesalahan, tegur dan jangan pernah mencatatnya. Namun jika anak dalam
posisi benar, puji dan catatlah. Waspada dengan apa yang kita katakan karena
anak-anak akan mendengarnya. Terlebih, banyak orang yang lupa dengan apa yang
ia katakan, tapi orang tidak akan lupa dengan apa yang ia dengar. Nah, kekuatan
kata-kata tersebut sudah dibuktikan oleh Ara. Saat dia merasa “kalah” dengan
kakaknya yang serba bisa. Berkat kata-kata Ibu Septi, Ara bisa bangkit dari
bayang-bayang sang kakak. Tebak apa yang dikatakan Ibu Septi kepada Ara? “Ndak
apa-apa Ara masih belum bisa ini dan itu, tetapi Ara bisa tersenyum.” Bu Septi
memang lupa jika beliau pernah mengatakan hal tersebut, namun Ara mencatatnya
dalam hati.
Mungkin itu saja catatan dari hasil
belajar bersama partner crime saya,
Riska. Semogalah bisa bermanfaat dan menjadi bahan pertimbangan kita dalam
mendidik anak. Mohon maaf jika ada salah dari kalimat yang agak bribet dan kaku-kaku
ini. Terima kasih sudah membaca hingga titik akhir. Saya tidak menyangka
menulis ini hingga sampai di halaman ke lima. Dan masih ada catatan ringan,
yang awalnya saya bingung harus diselipkan dimana. Sekali lagi terima kasih tak
terhingga saya sampaikan kepada pembaca yang budiman, yang telah sudi membaca
catatan di blog saya.
Berikut catatan ringan:
1. Sediakan
“meja peradaban” tempat keluarga makan malam bersama dan membahas aktivitas
dalam sehari yang sudah dilakukan. Peraturan saat berada di meja peradaban
dilarang membawa HP.
2. Sesekali
menulis surat cinta untuk suami.
3. Memberikan
wajah dan hati yang terbaik untuk anak-anak.
4. Buang
kata-kata “Harusnya kamu tahu”.
5. Kita
harus memahami generasi yang berbeda.
6. Marah
dan bahagia itu menular. Rawatlah sisi kekanak-kanakan kita, karena anak-anak
tidak pernah bersedih.
Komentar
Posting Komentar