Cerpen: Siang Hari di Sebuah Bandara


Seharusnya gadis berambut panjang itu melonjak senang. Namanya tercantum di antara deretan sepuluh nama pada web yang sedang ia amati. Pencapaian selama dua tahun yang ia tunggu-tunggu. Menjadi pengajar sekolah Indonesia di Moskow. Mengajar anak-anak asal Indonesia yang tinggal di Rusia. Entah itu anak diplomat, pengusaha, atau memang anak yang sengaja bersekolah di Moskow.
Lantas apa yang membuatnya kini tertunduk dengan tangan menyangga kepala? Ya, ia merasakan godam mendarat tepat di ubun-ubun. Sesaat pandangan gadis bernama Rasi Bintang itu menjadi kabur. Mengeja sebuah nama yang membuat hatinya sempat porak. Dia menemukan nama itu. Damar Langit.
Rasi kembali meneguk kopi yang mulai dingin. Sesekali ia merapikan rambutnya yang dipermainkan angin dari jendela. Menunggu Utari hingga sejam sudah menjadi kebiasaannya. Utari cukup beruntung, sebelum wisuda dia telah mengajar di SMP tempat ia PPL waktu kuliah dulu. Berbeda dengan Rasi, sudah dua tahun ia masih berseliweran di tengah kota atau pelesiran ke tempat-tempat wisata yang dianggapnya menarik. Bukan untuk mengikuti tren anak muda saat ini, melainkan demi menikam siluet dalam pikirannya.
“Maaf Ras, tadi rapat mendadak. Selamat ya, kamu lolos. Jadi kapan mulai kerja? Moskow lagi musim dingin, jangan lupa bawa baju tebal, penutup kepala, dan sarung tangan!” Deretan kosakata langsung diluncurkan Utari. Sejurus kemudian ia menandasakan minuman dingin yang sengaja dipesankan Rasi. Sejenak Rasi membiarkan Utari melepas jaket, sarung tangan, masker, dan helm yang membebat sekujur tubuhnya.
“Aku mau ke Kalimantan Tar. Rekomendasi dari Bu Titik.” Sambil menyodorkan kamera, Rasi mulai membuka suara. Menunjukkan sebuah gambar yang sebulan lalu ia ambil. Foto anak-anak pedalaman Kalimantan. Bertelanjang dada, rusuk menyembul, perut membuncit, dan gigi kemuning. Memang Rasi kerap diminta Bu Titik, dosen pembantu akademiknya waktu kuliah dulu untuk melakukan penelitian atau sekedar menemani kunjungan ke berbagai daerah. “Saya akan mengajar mereka, Tar. Setidaknya masih di Indonesia, bisa pulang waktu liburan atau lebaran nanti.”
Sejenak Utari terdiam. Mencerna apa-apa yang baru ditangkap pendengarannya. Dan sampailah Utari pada titik meradang. Minuman dingin yang sempat ia teguk mendadak mengeringkan tenggorokannya. Kata apa yang harus ia umpat untuk sahabatnya itu. Kesempatan yang jarang didapatkan orang lain kini harus ia lepas dengan alasan yang terkesan dibuat-buat.
Tentu Utari sudah tahu alasan mengapa Rasi melepas kesempatan emas tersebut. Bahkan jauh sebelum pengumuman itu dirilis. Beberapa waktu yang lalu, tanpa sengaja dia bertemu dengan Damar di sebuah mini market. Dari situ dia tahu bahwa Damar juga mengikuti seleksi pengajar di Moskow. Damar yang cerdas pasti lolos seleksi ini.
 “Ras, kamu yakin dengan keputusanmu? Semua ini bukan karena Damar, kan?”
            Pertanyaan Utari langsung menghunus tepat pada daging merah dalam tubuh Rasi. Tentu Utari tak perlu berbasa-basi dalam keadaan muntap seperti ini. Dan heningpun menyeruak. Tak perlu dipertanyakan lagi. Tentu Damarlah yang menjadi alasannya.
“Aku tahu, selama ini kamu berusaha melupakannya. Atau lebih tepat kau menghindarinya. Dan aku yakin Moskow adalah salah satu dari sekian tempat yang kamu pilih demi melupakan Damar. Ternyata kau tak sekuat yang aku kira, Ras.”  Utari menjadi gemas dengan sikap Rasi yang masih saja diam jika menyoal Damar. Mendadak ia tak mengenali lagi sosok Rasi yang dianggapnya garang dan optimis saat berhadapan dengan masalah apapun. Tak terkesuali dengan Asthma bronchiale yang Rasi derita.  Kini Rasi singa ompong yang kehilangan taringnya.
“Benar Tar. Aku memang lemah jika menyangkut Damar. Dan kamu benar. Jauh ke Moskow pun kulakukan untuk melupakannya. Tapi caraku ini gagal. Damar juga lolos dalam seleksi itu. Menurutmu, apakah aku bisa melupakannya jika dia yang ingin kulupakan selalu ada di depan mata?” Utari yang tak pernah mengalami hal serupa, tak mampu memberi dalil. Toh kita tidak akan bisa menasehati orang yang sedang jatuh cinta.
“Mengapa kau tak mencoba mengutarakan isi hatimu kepada Damar?” Utari memang cerdik. Dia mampu membungkus sebuah solusi dalam bentuk pertanyaan. Menyaksikan sahabatnya kehilangan jati diri, membuatnya seperti kehilangan karib.
Tentulah Rasi tak serta-merta menjawabnya. Ia hanya membuang muka ke luar jendela. Masalahnya memang sederhana bagi sebagian orang. Dan masalahnya begitu rumit pula bagi sebagian orang. Jatuh cinta, memendamnya, dan akhirnya tahu bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan. Patah hati. Sederhana bukan? Tapi bagi Rasi yang sulit mempercayakan hatinya kepada pria lain, tentulah bukan hal yang sederhana. Damar yang berperawakan tinggi, tampan, rajin baca Al-quran, dan jiwa sosialnya tinggi. Pria macam itu bukan hal yang waw memang jika dilogikakan. Bahkan artis pria tampan yang hafizh pun juga mulai banyak. Tentulah pria seperti itu kerap Rasi jumpai. Dan cinta pada pandangan pertama memang rumit dimengerti.
“Tapi aku sadar , Tar. Hidup terlalu remeh jika kita selalu berkubang dengan luka yang kita gali sendiri. Aku tidak ingin kau anggap lemah. Aku harus bisa bangkit dan menutup rapat lubang-lubang yang menenggelamkanku.” Sorot mata Rasi. Ya, sorot itulah yang diam-diam Utari kagumi. Sorot yang perlahan redup saat bertemu dengan Damar dalam acara bakti sosial sebuah rumah singgah dulu.  
“Sungguh aku senang jika kau mulai bangkit dari keterpurukan. Dulu kau sakit sendiri dan kini kau berusaha menyembuhkan sakitmu. Memang sakit yang kita rasakan, kita sendirilah yang mampu menyembuhkan.” Perlahan senyum Utari mengembang, menyambut Rasi yang telah kembali. Dan sebuah pelukan mengakhiri pertemuan dua sahabat. Beberapa hari lagi Rasi harus terbang menemui anak-anak suku pedalaman Kalimantan.
            “Eh, kau masih ingat foto ini?” tanya Rasi sambil menyodorkan gambar keduanya dengan latar belakang laut dan danau kecil.
“Namanya laguna, danau bagian dari laut yang sayangnya harus terpisah akibat peristiwa alam. Meskipun terpisah, danau tersebut tetap berasa asin. Berkat adanya laguna, banyak sekali manfaatnya. Ia memberikan kehidupan bagi makhluk di sekitarnya.” Dan begitulah cara Utari mendefinisikan laguna. Seperti dia mengajarkan anak-anak SMP.
“Laguna ini, dari sini aku belajar. Terkadang kita harus berpisah dengan orang yang kita sayangi, yaitu laut untuk menjadi bagian yang lebih kecil, laguna, agar bisa berarti bagi sebagian orang yang benar-benar membutuhkan.” Sebuah definisi menurut Rasi. Laguna inilah yang kembali membuatnya menyala.
Utari tersenyum simpul. Sesaat senyumnya berubah penuh khawatir. Seakan tahu kebiasaan Rasi yang kerap memasang foto di instagram.
“Rasi, awas ya kalau foto itu diupload ke instagram! Aku belum berjilbab itu.”
“Ha..ha..ha.. “ Rasi tertawa lepas. “Jangan khawatir! Asal bayarin makan siangku dulu baru semua urusan jadi beres.” Tanpa ada komando sepuluh jari Utari siap menggelitiki perut Rasi.
Rusia kini dibebat tumpukan salju. Itulah yang Utari ketahui. Membayangkan Rasi mengirimkan foto dengan mantel tebal sedang bermain salju, adalah sebuah pengandaian belaka. Mengingat-ingat Moskow membuatnya akan sakit hati. Ah, gadis keras kepala itu benar-benar menggemaskan. Dan Utari masih tak percaya ia harus menambah laju motornya demi melepas kepergian Rasi ke Kalimantan.
 “Masih di jalan! Lampu merahnya lama banget. Lagian ke Kalimantan aja minta diantar ke bandara, manja banget kamu, Ras!” Utari sedikit uring-uringan saat Rasi mulai tak sabar. Rasi sudah sejam berada di bandara. Rasanya kurang afdhol pergi jauh tanpa pamitan dulu dengan sahabatnya. “Iya, sepuluh menit lagi sampai. Sudah ya, jangan telpon-telpon lagi. Lampunya mau ijo ini!” Kembali Utari melaju motornya.
Bandara. Rasanya semua perasaan yang sedang dialami anak Adam bisa terwakili oleh bangunan itu. Senang, sedih, rindu, cemas, marah, benci, dan berharap. Tak jarang adegan suatu film mengambil lokasi bandara demi menimbulkan efek drama. Debar-debar menunggu kedatangan seseorang yang telah lama pergi jauh, atau sebaliknya. Melepas kepergian seseorang yang akan pergi jauh dan lama kembali. Detik-detik di mana semua manusia merasa cinta dan benci dengan bandara.
Rasi duduk di ruang tunggu bandara. Dari jauh ia melihat sosok yang menjadi pemicu kemelut dalam pikirannya. Damar. Laki-laki itu kini semakin mendekat. Entah suatu kebetulan atau memang skenario big bos. Tentu hanya Tuhan yang tahu. Atau Rasi memang sudah tahu kedatangan Damar. Entahlah. Tak lama lagi dia terbang bersama burung raksasa.
“Hey, apa kabar?” Damar menyapa Rasi. Sebuah pertanyaan yang membuat seseorang mungkin gagal move on. Benarkah demikian? Tentu hal tersebut tidak berlaku bagi Rasi. Tekatnya sudah bulat. Membuang semua kerikil-kerikil sandungan yang menghalanginya meraih mimpi.
Terbit sebuah sorot mata yang menandakan keheranan. Bukan. Itu adalah sorot mata kekaguman. Damar merasa ada yang berbeda dengan Rasi kali ini. Dua tahun tidak berjumpa tentu banyak hal yang telah terjadi. Damar merasa Rasi mengalami pelompatan dalam hidupnya. Dan dia tidak menyadari bahwa Damarlah yang menjadi musabab.
 “Alhamdulillah baik.” Rasi membalasnya singkat. Tak menyisakan sedikit celah untuk sebuah pengharapan. Rasi sadar bahwa selama ini dia telah melakukan kesalahan. Kesalahan kecil yang mampu mengubah arah tujuannya. Dia terlalu mengharap pada manusia. Bukankah seharusnya pengharapan digantungkan pada Tuhan?
Dari jauh tampak Utari yang tergopoh, masih lengkap dengan helm, sarung tangan, dan masker wajah. Rasi yang mengetahui keberadaan Utari, segera ia melambaikan tangan. Ekspresi yang sama ditunjukkan Utari. Ada yang berbeda dengan Rasi.
“Rasi? Kamu Rasi, kan?” Utari sangat terkejut melihat Rasi, sampai ia tidak memedulikan keberadaan Damar. Rasi hanya mengangguk sambil memeluk Utari. Tak ada kata yang terucap. Antara bingung dan terharu. Benar Rasi telah berubah. Dua hari yang lalu Rasi masih sibuk merapikan rambut panjangnya yang terhempas angin. Kini dia lebih cantik dengan mengenakan jilbab. Entah apa yang membuatnya berubah dengan cepat.
“Bukannya kamu yang bilang kalau Moskow sedang banyak salju? Makanya aku menggunakan pakaian panjang dan tertutup biar gak kedinginan.” Jawab Rasi cuek. Benarkah cuman itu saja alasannya? Ah, hidayah memang datang dari arah yang tidak disangka-sangka.
“Kalimantan?” Setahu Utari, seharusnya Rasi memang pergi ke Kalimantan. Lantas mengapa secara tiba-tiba ia berbaik arah menuju Moskow.
“Bu Titik tidak mengizinkan aku ikut ke Kalimantan setelah tahu aku lolos ke Moskow.” Rasi hanya menggeleng sambil menunjukkan wajah memelas. Dan Utari merasa ada embun yang perlahan masuk ke dalam hatinya. Terima kasih Bu Titik. Gadis keras kepala ini hanya takhluk dengan titahmu. Sesaat, Utari baru menyadari keberadaan Damar. Setelah melihat perubahan pada diri Rasi, tentu ia tidak lagi merasa khawatir sahabatnya terpuruk.  


*Cerpen ini bisa juga dibaca pada buku antoligi cerpen "Sepersepuluh Pemuda" karya FLP Pasuruan tahun 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik Cerpen Karya Sirikit Syah

CERPEN: MELUKIS BIDADARI

NOSTALGI(L)A PUTIH ABU-ABU