CERPEN: ANDAI DAPAT MEMUTAR WAKTU
ANDAI DAPAT MEMUTAR WAKTU
Pernahkah
kau kehilangan seseorang yang kau cintai secara tiba-tiba? Tentu sangat
menyakitkan. Namun percayalah, orang yang pergi meninggakan kita juga merasakan
hal yang sama. Hanya saja kita tidak tahu. Lantas bagaimana kau bisa menjalani
hidup tanpa orang yang kau cintai?
Aku Devina
anak bungsu dari dua bersaudara. Sedang kakakku bernama Delina. Jarak usia kami hanya
terpaut satu tahun. Memang dekat, namun kami tidak terlalu dekat satu sama
lain. Banyak yang mengatakan jika kami sangat mirip. Tetapi karakter kami
sangat bertolak belakang. Lihat saja, pagi ini Delina memotong pendek rambutnya.
Berbeda denganku yang lebih memilih memanjangkan rambut. Satu lagi, Delina
tidak memiliki rok kecuali seragam sekolah. Ia lebih suka menggunakan celana
seperti anak laki-laki.
Pagi ini Delina
memasang wajah cemberut. Baru saja Papa menegurnya lantaran akan menggunakan
motor untuk ke sekolah. Papa sudah tahu pasti jika Delina menggunakan motor,
dia akan bolos dengan gengnya. Padahal baru kemarin Papa menegur Delina
lantaran pulang larut malam bersama dengan teman-temannya.
Seperti
biasa, di sepanjang
perjalanan ke sekolah, aku dan Delina tak mengucap sepatah katapun.
Kita sibuk
dengan gadged kita masing-masing. Sesampainya di depan gerbang
sekolah Delina turun dari mobil dengan terburu-buru dan berlari ke seberang
jalan, aku tak tau siapa yang ia hampiri kala itu, namun aku tak perduli dengan
urusan Delina.
Di dalam
kelas aku tidak bisa tenang. Meskipun aku tidak dekat dengan Delina, aku tetap
mencemaskannya. Terlebih saat dia berlari ke seberang jalan tadi. Tanpa
berpikir panjang, aku meminta izin Pak Dedi, guru matematika untuk ke toilet. Benar
saja, saat berjalan di depan kelasnya, aku tidak melihat keberadaan Delina.
Jangan-jangan ia pergi dengan geng motornya.
“Halo,
Papa?” aku menelepon Papa.
“Halo,
Devina. Ada apa sayang?” tanya Papa.
“Delina
tidak masuk kelas lagi hari ini.”
“Apa? Yah sudah Dev, biar
Papa kasih
pelajaran kakakmu nanti,” jawab
Papa
dengan nada geram.
Begitu Papa
menutup telepon, aku
segera menuju kelas. Namun
saat aku membalikkan badan,
tak aku sangka Delina berdiri tepat di depanku.
“Berani-beraninya
kamu ngadu ke Papa!” ucap Delina dengan
tatapannya yang tajam.
Jujur
aku takut melihat tatapan Delina
yang seperti itu.
Tanpa sepatah kata, aku
langsung meninggalkannya dan kembali ke kelas. Tatapan Delina yang begitu tajam
masih terbayang-bayang di pikiranku.
Aku khawatir
jika keluar kelas nanti dia akan berbuat nekat karena sakit hati denganku.
***
Suasana
rumah kali ini benar-benar berubah, tak lagi hangat seperti dulu. Papa, Mama
dan Delina duduk berhadapan. Semuanya saling terdiam. Yang terdengar hanyalah
detakan jarum jam dinding.
“Aku
nggak ada di kelas waktu itu karena aku habis dari toilet, Pa!” ujar Delina membuka
kebisuan. Nada
keras Delina membuat Papa tersulut emosi. Aku yang
mengintip di ruang sebelah menjadi takut.
“Kamu
jangan bohong! Jelas-jelas kamu tidak ada di kelas.” Suara Papa tidak kurang
tingginya dari suara Delina.
“Mengapa
Papa tidak percaya padaku, mengapa Papa lebih percaya Devina?” kini suara
Delina menurun. Air matanya mulai membasahi kedua pipinya.
“Kamu
sering membohongi Papa. Kamu juga sering membuat masalah!” Ujar Papa dengan
nada tinggi.
Entah
mengapa, kali ini aku merasa sedih dan kasihan melihat Delina. Jangan-jangan ia
memang sedang ke toilet. Bisa saja ia telah berubah lebih baik. Pada akhirnya,
aku memberanikan diri memeluk Delina. Tidak terasa air mataku mulaia membasahi
kedua pipiku.
“Pa,
mungkin saya yang salah. Delina mungkin benar-benar ke toilet.” Aku berusaha
menengahi perdebatan antara Papa dan Delina. Namun, Delina bangkit dan berlari
menuju ke kamar lalu menguncinya dari dalam. Semenjak itu, aku dan Delina
semakin jauh. Delina benar-benar membenciku.
***
Beberapa minggu kemudian banyak sekali pemberitaan
mengenai covid-19. Agar tidak terinfeksi virus, aku dan keluargaku mengurangi
aktifitas di luar rumah. Sekolahpun untuk sementara dialihkan ke pembelajaran
jarak jauh. Delina
si anak motor itu kini lebih suka mengurung diri di kamarnya.
Sedangkan aku
semakin bosan berdiam diri di rumah. Aku ingin pergi ke mall dan jalan-jalan. Di
sisi lain Papa dan
Mama
setiap satu minggu sekali harus tetap
pergi ke kantor.
“Mama,
Papa, aku nggak mau kalian
sering keluar
rumah. Aku tidak ingin virus menjangkiti kalian,” Ucapku pada Mama dan Papa di meja makan malam itu
“Papa
dan Mama
kerja untuk kamu juga sayang, Devina
nggak perlu khawatir, kita bisa jaga diri kok,” ucap Mama dengan mengelus
kepalaku.
“Papa
juga mau kalian berdua, bisa
akur dan tidak saling menjauh seperti ini,” ujar papa dengan menatapi
aku dan Delina.
Entah
kenapa Papa
tiba-tiba mengatakan hal itu pada kami berdua. Mengapa Papa
mengatakan hal demikian. Mendengar
kata-kata Papa
tiba-tiba aku ingin
menagis,
tetapi aku tak tau apa penyebab kesedihan yang aku rasakan.
Keesokan harinya, usai mengikuti kelas online
aku melihat Delina yang tengah duduk dengan memakan cemilan di depan televisi.
Teringat ucapan papa tadi malam aku ingin menghampiri Delina dan mengajaknya
berbicara,
berharap setelah itu aku akan lebih dekat dengannya.
“Lagi
nonton apa?” tanyaku dengan tersenyum.
“Nonton
TV,” jawab Delina dengan nadanya yang
begitu judes.
Meskipun
jawabannya tidak mengenakkan, aku
tetap berusaha mengajaknya berbicara.
“Eh, Del kamu tau nggak?” sebelum aku selesai
berbicara tiba-tiba tiba Delina
memotong pembicaraanku dengan mengatakan “nggak tau” sambil meninggalkan
tempat duduknya.
“Oke
setelah ini aku nggak akan ngajak dia ngobrol lagi, nggak
asik.”
ujarku pada diriku sendiri.
Tiba-tiba HP-ku
berdering. Ternyata Papa
yang
menelfonku.
“Hallo, Pa. Ada apa?”
“Nak, maafkan
Papa yah!
Hari ini Papa
sama Mama
nggak bisa pulang dulu,”
ujar Papa.
“Kenapa, Pa?” tanyaku
penasaran.
“Papa
sama Mama
tadi tes PCR dan
ternyata hasil keduanya
positif.
Jadi Papa sama Mama harus karantina
di rumah sakit."
Mendengar hal itu aku
benar-benar khawatir dengan keadaan mereka. Aku mulai takut kehilangan
keduanya. Rasa cemas dan sedih
bercampur menjadi satu. Hari-hari kulalui penuh ketakutan. Walau setiap hari berhubungan
dengan Papa dan Mama, aku masih saja khawatir. Namun pagi ini mereka sama sekali
tidak memberikan kabar apapun padaku. Aku berusaha menghubungi
mereka namun tetap tidak ada respon.
“Mama!” suara teriakan Delina
dari dalam kamarnya begitu keras hingga terdengar sampai kamarku. Mendengar teriakan itu
sontak aku berlari menghampiri Delina. Delina yang tengah duduk di atas
ranjang
terlihat menangis.
Wajahnya
merah dan pipinya dibasahi air mata. Aku tak tau apa yang terjadi
dengannya, saat aku tanya ia hanya menangis tersesendu-sendu.
Aku ambil
ponsel di
tangannya yang masih terhubung.
“Halo,
ini siapa?” tanyaku
penasaran.
“Saya
dari pihak rumah sakit, mohon
maaf mbak kami sudah berusaha
yang terbaik tetapi ibu mbak tidak bisa kami selamatkan.” Kata
seseorang di seberang.
Aku begitu
tterkejut
mendengar kabar itu, aku seolah-olah tak percaya dan hatiku sangat terpukul
mendengarnya.
Apalagi
Delina ia yang selalu dibela dan dimanja oleh Mama tentunya sangat
terpukul mendengar kabar itu. Kami berdua hanya bisa saling menguatkan.
Hari demi hari kami lewati tanpa
keberadaan Mama dan Papa di rumah. Aku hanya berharap Papa tetap baik-baik saja dalam
masa karantina di
rumah sakit. Seusai
kepergian Mama
seolah-olah tak henti-hentinya Tuhan
menguji kami.
Banyak
permasalahan yang terjadi mulai dari pihak bank yang sering menghubungi telefon
rumah hingga mereka datang ke rumahku untuk menyita barang-barang di rumah.Semenjak
Papa dikarantina, kantor milik Papa benar-benar mengalami kekacauan. Asisten pribadi Papa yang menggantikannya telah melakukan korupsi.
“Devina,
Papa sudah tidak ada.” Tiba-tiba Delina menghampiriku sembari memegang
ponselnya. Aku tidak percaya dengan apa yang diucapkan Delina.
“Kamu tidak
bohong?” Air mataku sudah berjatuhan. Tubuhku limbung bagai tak berangka.
Tuhanku, mengapa ujian ini begitu berat. Setelah kepergian Mama, kini Papa juga
ikut menyusul.
Setelah dua
pekan dikarantina dalam rumah, aku dan Delina pergi ke pemakaman Papa dan Mama.
Terlihat makam Mama dan Papa yang masih basah. Di samping makam, kami berdua
mendoakan Papa dan Mama. Perlahan Delina memelukku.
“Delina,
maafkan kesalahanku. Selama ini aku sering membuatmu marah. Sering mengadukan
kesalahanmu pada Papa. Aku ingin engkau memaafkanku. Aku tidak memiliki
siapa-siapa lagi di dunia ini, kecuali kamu.” Delina hanya terdiam sembari
memelukku. Tidak ada yang ia ucapkan. Dia hanya mengangguk sembari memelukku
rapat. Kini kita berdua resmi menjadi yatim piatu.
***
Sudah satu
tahun aku dan Delina terpaksa harus angkat kaki dari rumah tempat
tinggal kami. Beruntung Oma mau merawat dan membiarkan kami tinggal bersamanya
di desa. Kami berdua terpaksa harus pindah sekolah. Selama satu tahun pula kami
hanya bisa sekolah daring. Dengan demikian kami tidak pernah bertemu dengan
teman-teman di sekolah.
Jangan
tanya bagaimana keadaan kami tanpa Papa dan Mama. Tentu kami bisa melalui hidup
dengan baik. Namun tetap saja ada yang hilang. Ap aitu? Kasih sayang dan
doa-doa yang selalu dipanjatkan oleh Papa dan Mama untuk anak-anaknya.
Di suatu pagi aku dan Delina
tengah duduk di teras depan rumah, mencari sinyal yang cukup sulit
terkoneksi. Berbeda dengan tempat tinggalku dulu, sinyal di desa ini begitu
susah. Seakan-akan
sedang mencari jarum di tumpukan jerami.
“Sinyal!
Kenapa sih, di sini tuh susah banget
nyari sinyal,”
ucap Delina dengan geram.
“Duh, udah deh jangan berisik!
Aku lagi ngerjain
tugas, nih!”
sahutku
begitu mendengar
Delina
yang tak henti-hentinya marah dengan keadaan susah sinyal.
“Wah,
asyik!” seruku
dengan suara lantang.
Sembari berlompatan tak karuan.
“Apa
sih tadi aku nggak boleh berisik, sekarang kamu sendiri yang heboh!” jawab Delina dengan wajah
sebal.
“Besok
kita sudah
boleh sekolah normal lagi!”
jawabku penuh semangat.
“Beneran?
Kita bisa sekolah tatap muka?”
tanya Delina
seakan tak percaya.
“Iya,
kita sekolah normal sekaligus pengambilan rapot.” Jelasku.
Sejurus
kemudian kami saling terdiam. Kami senang sebab sekolah kembali masuk. Namun kami
juga sedih lantaran orang tualah yang harus mengambil rapor. Aku dan Delina pun mulai kebingungan
siapa yang akan mengambilkan rapotku nanti, sedangkan Oma sedang sakit kaki.
Keesokan hari aku berangkat ke sekolah jalan kaki
bersama Delina. Selama tinggal di rumah omah, kedekatan antara aku dan Delina mulai terjalin. Kita lebih sering bersama
sebab di sini kita tidak memiliki satupun teman untuk bergaul.
Sesampainya di
sekolah aku bertemu dengan teman-teman baruku. Beberapa jam kemudian banyak
wali murid yang berdatangan.
Itu semua
semakin mengingatkan aku kepada Papa dan Mama.
Seusai
pembelajaran kami pun pulang, karena kelas akan dipakai untuk penerimaan rapor.
Banyak siswa yang masih belum pulang, mereka menunggu orang tuanya di depan
kelas. Mereka ingin melihat hasil rapot masing-masing. Sedangkan aku dan Delina
segera menuju ke ruang kepala sekolah, menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa
mengambilkan rapot untuk kami. Beruntung kepala sekolah mengizinkan kami mengambil
rapot tanpa ada wali.
Sembari
menunggu aku terlihat seorang siswa
berada di depan kelasnya, ia bersanding dengan ayah dan kakaknya.
"Kalau
Mama sama Papa masih ada mungkin kita nggak ada di sini sekarang, dan
mungkin kita nggak akan seakur mereka" ucap Delina dengan sedikit
tersenyum dan terus menatapi keluarga kecil itu di depan kita,
"Iya, Kak,"
ucapanku itu sungguh membuat Delina terkejut sebab itu adalah kali pertama aku
memanggilnya dengan sebutan kakak, sontak Delina memelukku, matanya
berkaca-kaca, dan ia tersenyum sumringah. Tak lama kepala sekolah memanggil
kita dan menyerahkan hasil rapot akhir semester. Beliau mengatakan bahwa hasil
rapot kita adalah yang terbaik di kelas kita masing-masing. Sungguh itu adalah
sebuah kebanggaan bagiku dan Delina.
“Kak, andai
kita bisa memutar waktu, aku ingin Papa dan Mama ada untuk kita, Aku ingin
menunjukkan pada mereka bahwa kita sudah baikan,” Kataku dengan nada
penyesalan.
“Jangan
begitu, Devina. Kita tidak boleh mengatakan seperti itu. Itu semua sudah
takdir. Lebih baik kita jalani hidup ini dengan lebih baik. Semoga di sekolah
ini, kitab isa membuka lembaran baru kehidupan kita.” Kata Delina penuh
semangat.
Bagiku, sekolah adalah healing. Di sana
tempatku menyembuhkan segala luka yang aku dan Delina rasakan. Luka akibat
ditinggal pergi oleh orang tua yang kami sayangi. Tentu bukan hanya aku dan
Delina saja yang mengalami kehilangan orang tua gara-gara covid. Masih banyak
anak-anak seusiaku di luar sana yang juga kehilangan keluarganya.
Di sekolah,
aku bertemu dengan banyak teman yang baik. Bapak ibu guru yang selalu
menyemangati kami untuk semangat pantang menyerah untuk menggapai harapan.
Bapak ibu guru juga selalu mengingatkan kami untuk selalu melaksanakan protokol
kesehatan.
Untuk
teman-temanku semua, tidak mengapa kita kehilangan orang yang kita sayangi.
Asal jangan kehilangan semangat untuk melanjutkan cita-cita kita. Kalian tidak
sendiri. Mari kita bergandengan tangan. Bersatu saling menguatkan.
Komentar
Posting Komentar