CERPEN: ANDAI DAPAT MEMUTAR WAKTU

ANDAI DAPAT MEMUTAR WAKTU

Karya : Hanifatussakdiyah 

Pernahkah kau kehilangan seseorang yang kau cintai secara tiba-tiba? Tentu sangat menyakitkan. Namun percayalah, orang yang pergi meninggakan kita juga merasakan hal yang sama. Hanya saja kita tidak tahu. Lantas bagaimana kau bisa menjalani hidup tanpa orang yang kau cintai? 

Aku Devina anak bungsu dari dua bersaudara. Sedang kakakku bernama Delina. Jarak usia kami hanya terpaut satu tahun. Memang dekat, namun kami tidak terlalu dekat satu sama lain. Banyak yang mengatakan jika kami sangat mirip. Tetapi karakter kami sangat bertolak belakang. Lihat saja, pagi ini Delina memotong pendek rambutnya. Berbeda denganku yang lebih memilih memanjangkan rambut. Satu lagi, Delina tidak memiliki rok kecuali seragam sekolah. Ia lebih suka menggunakan celana seperti anak laki-laki.

Pagi ini Delina memasang wajah cemberut. Baru saja Papa menegurnya lantaran akan menggunakan motor untuk ke sekolah. Papa sudah tahu pasti jika Delina menggunakan motor, dia akan bolos dengan gengnya. Padahal baru kemarin Papa menegur Delina lantaran pulang larut malam bersama dengan teman-temannya.

Seperti biasa, di sepanjang perjalanan ke sekolah, aku dan Delina tak mengucap sepatah katapun. Kita sibuk dengan gadged kita masing-masing. Sesampainya di depan gerbang sekolah Delina turun dari mobil dengan terburu-buru dan berlari ke seberang jalan, aku tak tau siapa yang ia hampiri kala itu, namun aku tak perduli dengan urusan Delina.

Di dalam kelas aku tidak bisa tenang. Meskipun aku tidak dekat dengan Delina, aku tetap mencemaskannya. Terlebih saat dia berlari ke seberang jalan tadi. Tanpa berpikir panjang, aku meminta izin Pak Dedi, guru matematika untuk ke toilet. Benar saja, saat berjalan di depan kelasnya, aku tidak melihat keberadaan Delina. Jangan-jangan ia pergi dengan geng motornya.

“Halo, Papa?” aku menelepon Papa. 

“Halo, Devina. Ada apa sayang?” tanya Papa.

“Delina tidak masuk kelas lagi hari ini.”

Apa? Yah sudah Dev, biar Papa kasih pelajaran kakakmu nanti,jawab Papa dengan nada geram.

Begitu Papa menutup telepon, aku segera menuju kelas. Namun saat aku membalikkan badan, tak aku sangka Delina berdiri tepat di depanku.

Berani-beraninya kamu ngadu ke Papa!” ucap Delina dengan tatapannya yang tajam. Jujur aku takut melihat tatapan Delina yang seperti itu. Tanpa sepatah kata, aku langsung meninggalkannya dan kembali ke kelas. Tatapan Delina yang begitu tajam masih terbayang-bayang di pikiranku. Aku khawatir jika keluar kelas nanti dia akan berbuat nekat karena sakit hati denganku.

***

Suasana rumah kali ini benar-benar berubah, tak lagi hangat seperti dulu. Papa, Mama dan Delina duduk berhadapan. Semuanya saling terdiam. Yang terdengar hanyalah detakan jarum jam dinding.

Aku nggak ada di kelas waktu itu karena aku habis dari toilet, Pa!” ujar Delina membuka kebisuan. Nada keras Delina membuat Papa tersulut emosi. Aku yang mengintip di ruang sebelah menjadi takut.

“Kamu jangan bohong! Jelas-jelas kamu tidak ada di kelas.” Suara Papa tidak kurang tingginya dari suara Delina.

“Mengapa Papa tidak percaya padaku, mengapa Papa lebih percaya Devina?” kini suara Delina menurun. Air matanya mulai membasahi kedua pipinya.

“Kamu sering membohongi Papa. Kamu juga sering membuat masalah!” Ujar Papa dengan nada tinggi.

Entah mengapa, kali ini aku merasa sedih dan kasihan melihat Delina. Jangan-jangan ia memang sedang ke toilet. Bisa saja ia telah berubah lebih baik. Pada akhirnya, aku memberanikan diri memeluk Delina. Tidak terasa air mataku mulaia membasahi kedua pipiku.

“Pa, mungkin saya yang salah. Delina mungkin benar-benar ke toilet.” Aku berusaha menengahi perdebatan antara Papa dan Delina. Namun, Delina bangkit dan berlari menuju ke kamar lalu menguncinya dari dalam. Semenjak itu, aku dan Delina semakin jauh. Delina benar-benar membenciku.

***

Beberapa minggu kemudian banyak sekali pemberitaan mengenai covid-19. Agar tidak terinfeksi virus, aku dan keluargaku mengurangi aktifitas di luar rumah. Sekolahpun untuk sementara dialihkan ke pembelajaran jarak jauh. Delina si anak motor itu kini lebih suka mengurung diri di kamarnya. Sedangkan aku semakin bosan berdiam diri di rumah. Aku ingin pergi ke mall  dan jalan-jalan. Di sisi lain Papa dan Mama setiap satu minggu sekali harus tetap pergi ke kantor.

“Mama, Papa, aku nggak mau kalian sering keluar rumah. Aku tidak ingin virus menjangkiti kalian,” Ucapku pada Mama dan Papa di meja makan malam itu

Papa dan Mama kerja untuk kamu juga sayang, Devina nggak perlu khawatir, kita bisa jaga diri kok,” ucap Mama dengan mengelus kepalaku.

Papa juga mau kalian berdua, bisa akur dan tidak saling menjauh seperti ini,” ujar papa dengan menatapi aku dan Delina. Entah kenapa Papa tiba-tiba mengatakan hal itu pada kami berdua. Mengapa Papa mengatakan hal demikian. Mendengar kata-kata Papa tiba-tiba aku ingin menagis, tetapi aku tak tau apa penyebab kesedihan yang aku rasakan.

Keesokan harinya, usai mengikuti kelas online aku melihat Delina yang tengah duduk dengan memakan cemilan di depan televisi. Teringat ucapan papa tadi malam aku ingin menghampiri Delina dan mengajaknya berbicara, berharap setelah itu aku akan lebih dekat dengannya.

Lagi nonton apa?” tanyaku dengan tersenyum.

Nonton TV,jawab Delina dengan nadanya yang begitu judes. Meskipun jawabannya tidak mengenakkan, aku tetap berusaha mengajaknya berbicara.

Eh, Del kamu tau nggak?” sebelum aku selesai berbicara tiba-tiba tiba Delina memotong pembicaraanku dengan mengatakan “nggak tau” sambil meninggalkan tempat duduknya.

Oke setelah ini aku nggak akan ngajak dia ngobrol lagi, nggak asik.” ujarku pada diriku sendiri.

Tiba-tiba HP-ku berdering. Ternyata Papa yang menelfonku.

Hallo, Pa. Ada apa?

Nak, maafkan Papa yah! Hari ini Papa sama Mama nggak bisa pulang dulu,” ujar Papa.

Kenapa, Pa?” tanyaku penasaran.

Papa sama Mama tadi tes PCR dan ternyata hasil keduanya positif. Jadi Papa sama Mama harus karantina di rumah sakit."

Mendengar hal itu aku benar-benar khawatir dengan keadaan mereka. Aku mulai takut kehilangan keduanya. Rasa cemas dan sedih bercampur menjadi satu. Hari-hari kulalui penuh ketakutan. Walau setiap hari berhubungan dengan Papa dan Mama, aku masih saja khawatir. Namun pagi ini mereka sama sekali tidak memberikan kabar apapun padaku. Aku berusaha menghubungi mereka namun tetap tidak ada respon.

Mama!” suara teriakan Delina dari dalam kamarnya begitu keras hingga terdengar sampai kamarku. Mendengar teriakan itu sontak aku berlari menghampiri Delina. Delina yang tengah duduk di atas ranjang terlihat menangis. Wajahnya merah dan pipinya dibasahi air mata. Aku tak tau apa yang terjadi dengannya, saat aku tanya ia hanya menangis tersesendu-sendu.

Aku ambil ponsel di tangannya yang masih terhubung.

Halo, ini siapa?” tanyaku penasaran.

Saya dari pihak rumah sakit, mohon maaf mbak  kami sudah berusaha yang terbaik tetapi ibu mbak tidak bisa kami selamatkan.Kata seseorang di seberang.

Aku begitu tterkejut mendengar kabar itu, aku seolah-olah tak percaya dan hatiku sangat terpukul mendengarnya. Apalagi Delina ia yang selalu dibela dan dimanja oleh Mama tentunya sangat terpukul mendengar kabar itu. Kami berdua hanya bisa saling menguatkan.

Hari demi hari kami lewati tanpa keberadaan Mama dan Papa di rumah. Aku hanya berharap Papa tetap baik-baik saja dalam masa karantina di rumah sakit. Seusai kepergian Mama seolah-olah tak henti-hentinya Tuhan menguji kami. Banyak permasalahan yang terjadi mulai dari pihak bank yang sering menghubungi telefon rumah hingga mereka datang ke rumahku untuk menyita barang-barang di rumah.Semenjak Papa dikarantina, kantor milik Papa benar-benar mengalami kekacauan. Asisten pribadi Papa yang menggantikannya telah melakukan korupsi.

“Devina, Papa sudah tidak ada.” Tiba-tiba Delina menghampiriku sembari memegang ponselnya. Aku tidak percaya dengan apa yang diucapkan Delina.

“Kamu tidak bohong?” Air mataku sudah berjatuhan. Tubuhku limbung bagai tak berangka. Tuhanku, mengapa ujian ini begitu berat. Setelah kepergian Mama, kini Papa juga ikut menyusul.

Setelah dua pekan dikarantina dalam rumah, aku dan Delina pergi ke pemakaman Papa dan Mama. Terlihat makam Mama dan Papa yang masih basah. Di samping makam, kami berdua mendoakan Papa dan Mama. Perlahan Delina memelukku.

“Delina, maafkan kesalahanku. Selama ini aku sering membuatmu marah. Sering mengadukan kesalahanmu pada Papa. Aku ingin engkau memaafkanku. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini, kecuali kamu.” Delina hanya terdiam sembari memelukku. Tidak ada yang ia ucapkan. Dia hanya mengangguk sembari memelukku rapat. Kini kita berdua resmi menjadi yatim piatu.

***

Sudah satu tahun aku dan Delina terpaksa harus angkat kaki dari rumah tempat tinggal kami. Beruntung Oma mau merawat dan membiarkan kami tinggal bersamanya di desa. Kami berdua terpaksa harus pindah sekolah. Selama satu tahun pula kami hanya bisa sekolah daring. Dengan demikian kami tidak pernah bertemu dengan teman-teman di sekolah.

Jangan tanya bagaimana keadaan kami tanpa Papa dan Mama. Tentu kami bisa melalui hidup dengan baik. Namun tetap saja ada yang hilang. Ap aitu? Kasih sayang dan doa-doa yang selalu dipanjatkan oleh Papa dan Mama untuk anak-anaknya.

Di suatu pagi aku dan Delina tengah duduk di teras depan rumah, mencari sinyal yang cukup sulit terkoneksi. Berbeda dengan tempat tinggalku dulu, sinyal di desa ini begitu susah. Seakan-akan sedang mencari jarum di tumpukan jerami.  

Sinyal! Kenapa sih, di sini tuh susah banget nyari sinyal,” ucap Delina dengan geram.

Duh, udah deh jangan berisik! Aku lagi ngerjain tugas, nih!” sahutku begitu mendengar Delina yang tak henti-hentinya marah dengan keadaan susah sinyal.

Wah, asyik!” seruku dengan suara lantang. Sembari berlompatan tak karuan.

Apa sih tadi aku nggak boleh berisik, sekarang kamu sendiri yang heboh!” jawab Delina dengan wajah sebal.

Besok kita sudah boleh sekolah normal lagi!” jawabku penuh semangat.

Beneran? Kita bisa sekolah tatap muka?” tanya Delina seakan tak percaya.

Iya, kita sekolah normal sekaligus pengambilan rapot.” Jelasku.

Sejurus kemudian kami saling terdiam. Kami senang sebab sekolah kembali masuk. Namun kami juga sedih lantaran orang tualah yang harus mengambil rapor. Aku dan Delina pun mulai kebingungan siapa yang akan mengambilkan rapotku nanti, sedangkan Oma sedang sakit kaki.

Keesokan hari aku berangkat ke sekolah jalan kaki bersama Delina. Selama tinggal di rumah omah, kedekatan antara aku dan Delina mulai terjalin. Kita lebih sering bersama sebab di sini  kita tidak memiliki satupun teman untuk bergaul. Sesampainya di sekolah aku bertemu dengan teman-teman baruku. Beberapa jam kemudian banyak wali murid yang berdatangan. Itu semua semakin mengingatkan aku kepada Papa dan Mama.

Seusai pembelajaran kami pun pulang, karena kelas akan dipakai untuk penerimaan rapor. Banyak siswa yang masih belum pulang, mereka menunggu orang tuanya di depan kelas. Mereka ingin melihat hasil rapot masing-masing. Sedangkan aku dan Delina segera menuju ke ruang kepala sekolah, menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa mengambilkan rapot untuk kami. Beruntung kepala sekolah mengizinkan kami mengambil rapot tanpa ada wali.

Sembari menunggu  aku terlihat seorang siswa berada di depan kelasnya, ia bersanding dengan ayah dan kakaknya.

"Kalau Mama sama Papa masih ada mungkin kita nggak ada di sini sekarang, dan mungkin kita nggak akan seakur mereka" ucap Delina dengan sedikit tersenyum dan terus menatapi keluarga kecil itu di depan kita,

"Iya, Kak," ucapanku itu sungguh membuat Delina terkejut sebab itu adalah kali pertama aku memanggilnya dengan sebutan kakak, sontak Delina memelukku, matanya berkaca-kaca, dan ia tersenyum sumringah. Tak lama kepala sekolah memanggil kita dan menyerahkan hasil rapot akhir semester. Beliau mengatakan bahwa hasil rapot kita adalah yang terbaik di kelas kita masing-masing. Sungguh itu adalah sebuah kebanggaan bagiku dan Delina.

“Kak, andai kita bisa memutar waktu, aku ingin Papa dan Mama ada untuk kita, Aku ingin menunjukkan pada mereka bahwa kita sudah baikan,” Kataku dengan nada penyesalan.

“Jangan begitu, Devina. Kita tidak boleh mengatakan seperti itu. Itu semua sudah takdir. Lebih baik kita jalani hidup ini dengan lebih baik. Semoga di sekolah ini, kitab isa membuka lembaran baru kehidupan kita.” Kata Delina penuh semangat.

 Bagiku, sekolah adalah healing. Di sana tempatku menyembuhkan segala luka yang aku dan Delina rasakan. Luka akibat ditinggal pergi oleh orang tua yang kami sayangi. Tentu bukan hanya aku dan Delina saja yang mengalami kehilangan orang tua gara-gara covid. Masih banyak anak-anak seusiaku di luar sana yang juga kehilangan keluarganya. 

Di sekolah, aku bertemu dengan banyak teman yang baik. Bapak ibu guru yang selalu menyemangati kami untuk semangat pantang menyerah untuk menggapai harapan. Bapak ibu guru juga selalu mengingatkan kami untuk selalu melaksanakan protokol kesehatan.

Untuk teman-temanku semua, tidak mengapa kita kehilangan orang yang kita sayangi. Asal jangan kehilangan semangat untuk melanjutkan cita-cita kita. Kalian tidak sendiri. Mari kita bergandengan tangan. Bersatu saling menguatkan.

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik Cerpen Karya Sirikit Syah

CERPEN: MELUKIS BIDADARI

NOSTALGI(L)A PUTIH ABU-ABU